Babul Ilmi

Babul Ilmi

Gerbang Segala Ilmu

Babul Ilmi

Friday, April 26, 2019

Dalil Mengumandangkan Adzan Di Telinga Bayi Yang Baru Lahir

Dalil Mengumandangkan Adzan Di Telinga Bayi Yang Baru Lahir

Dalil Mengumandangkan Adzan Di Telinga Bayi Yang Baru Lahir


Dalam kitab Sunan At-Tirmidzi, jilid 3, halaman 173, terbitan Darul Fikr, cetakan tahun 2001M/1421H:

Diriwayatkan Abu Rafi’: “saya melihat Rasulullah Saw mengumandangkan azan di telinga al-Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.”

At-Tirmidzi berkata: hadis ini Hasan Shahih.

Dalam kitab al-Majmu Syarah Muhazzab, karya Imam An-Nawawi yang bermadzhab Syafi’I, jilid 8, halaman 414-415, terbitan Maktabah ar-Rusyd, Jedah Arab Saudi:

As-Syirazi (pengarang kitab Muhazzab) berkata: “Disunnahkan bagi yang telah melahirakan anak. Agar mengumandangkan azan di telinga anaknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’ “Sesungguhnya Nabi Saw mengumandangkan azan di telinga al-Hasan ra ketika Fatimah melahirkannya dengan (azan) shalat.”

Imam an-Nawawi berkata: “dan hadis Abu Rafi’’ Shahih, Abu Dawud, Tirmidzi dan selain keduanya teleh meriwayatkan hadis tersebut, dan berkata Tirmidzi: Hadis ini Hasan Shahih.

Dalam Kitab Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud, Karya Ibn Qayyi, yang bermadzhab Hanbali, halaman 37, terbitan Dar Alamil Fawaid:
ibn Qayyim berkata: “Rahasia mengumandangkan azan (ditelinga bayi) dan Allah lebih mengetahuinya, yaitu agar hal pertama yang di dengar manusia adalah kalimat Nya yang mengandung kebesaran Tuhan dan keagungan Nya juga syahadat yang petama menjadikannya masuk kedalam islam. Hal tersebut seperti talqin untuknya sebagai syiar islam ketika dia memasuki dunia sebagaimana talqin kalimat ketika dia keluar dari dunia (meninggal).”

Memang ada kelompok yang mendhoifkan riwayat tentang mengazankan bayi ketika lahir. Namun, apa yang menjadikan mereka berat untuk bertoleransi kepada orang lain yang juga memiliki dalil akan kebenaran riwayat tersebut, sebagaimana yang telah dicantumkan di atas tadi. Bahwa Ibn Qayyim membawakan riwayat tersebut. Bahkan Imam At-Tirmidzi dan Imam Nawawi menshahihkannya. Apakah mereka juga akan menyamaratakan semua ulama tersebut dengan menganggap atau memperhitungkan pendapat yang mereka miliki.

Thursday, April 25, 2019

Dalil Tentang Dibolehkanya Tahlilan Dan Menghadiahkan Pahala Kepada Orang Yang Sudah Meninggal Dunia

Dalil Tentang Dibolehkanya Tahlilan Dan Menghadiahkan Pahala Kepada Orang Yang Sudah Meninggal Dunia

Dalil Tentang Dibolehkanya Tahlilan

Hukum bolehnya membaca surat yasin di hadapan mayit


  • Dalam kitab musnad Ahmad Bin Hanbal, Tahqiq Syuaib al-Arnaut seorang ulama wahabi, jilid 28, halaman 171-172, hadis nomor 16969, terbitan muasasah al-Risalah, cetakan kedua tahun 2008M/1429H:


Telah menyampaikan kepada kami abu al-mughirah, telah menyampaikan kepada kami shafwan telah menyampaikan kepadaku para guru, bahwasanya mereka (para guru) menghadiri Ghudaifah bin al-Harits al-Tsumali ketika fisiknya (Ghudaifah) telah melemah, Ghudaifah berkata: “Apakah ada seseorang diantara kalian yang akan membacakan surah yasin?”

Perawi berkata: lalu shalil bin Syuraih al-Sakuni membacakannya. Tatkala sampai pada ayat ke-40, ghudaifah bin al-Harits al-Tsumali pun wafat.”

Perawi berakata: “Beberapa Syaikh (para guru) mereka berkata: “Apa bila surat yasin dibacakan dihadapan mayit, maka akan diringankan atasnya dikarenakan surat tersebut.”

Shafwan berkata: “ Dan hal yang sama pun dilakukan oleh Isa bin Ma’mar dihadapan Ibn Ma’bad (membacakan surat yasin)”

Syuaib Arnaut berkata: “sanad riwayat ini hasan, dan muhbamnya (tidak jelasnya) siapa para guru tidak berdampak pada perawi tersebut.”

Ibn Taimiyah Membolehkan Tahlilan


  • Dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, karya Ibn Taimiyah yang bermazhab hanbali, jilid 12, halaman 399, terbitan Dar al-Hadis Kairo, cetakan tahun 2006M/1427H


Ibn Taimiyah berkata: “telah sahih (riwayat) dari Nabi Saw, bahwa beliau memerintahkan bersedekah untuk orang yang sudah mati, juga memerintahkan agar melaksanakan berpuasa untuknya (untuk si mayit), maka sedekah atas nama mayit, termasuk amal shaleh, sama halnya dengan yang tertera didalam sunnah tentang berpuasa atas nama mereka.”

Dengan riwayat ini dan selainnya, para ulama berhujjah membolehkan menghadiahkan pahala ibadah, harta, dan badan kepada orang yang sudah mati dari kaum muslimin. Sebgaimana hal ini merupakan mazhab Ahamad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama maliki dan syafi’i….”

Ibn Taimiyah ditanya tentang seseorang yang bertahlil (membaca Laa Ilaaha Illallah) sebanyak 70 ribu kali, kemudian dia menghadiahkan pahala bacaannya itu kepada orang yang sudah meninggal dunia, apakah dapat melepaskan mayit dari siksa nereka, apakah ini termasuk hadis sahih atau tidak?

Dan jika seseorang bertahlil lalu menghadiahkan nya kepada mayit, apakah pahalanya samapai kepada si mayit atau tidak?

Ibn taimiyah menjawab: “jika seseorang bertahlil seperti itu sebanyak 70 ribu kali, atau kurang atau lebih dari itu, lalu dia hadiahkan pahalanya kepada mayit, maka Allah akan menjadikan amalan tersebut bermanfaat (bagi si mayit), ini bukanlah hadis sahih dan bukan pula dhaif. Wallahu a’lam

Sumber: Masalah Yang Di Perselisihkan, halaman 10-11



Wednesday, April 24, 2019

Dalil Di perbolehkannya Ziarah Kubur Bagi Wanita

Dalil Di perbolehkannya Ziarah Kubur Bagi Wanita

Dalil Di Perbolehkannya Ziarah Kubur Bagi Wanita

Dalam kitab ‘Ala Shahihain karya al-hakim yang bermazhab Syafi’I, jilid 1, halaman 485, terbitan Dar al-Fikr, cetakan pertama tahun 2001 M/1422H:

Dari Abdillah bin Abi Muliakah: “Bahwasanya pada suatu hari, Asiyah kembali dari perkuburan. Kemudian aku (Ibn Mulaikah) bertanya kepadanya: “wahai Ummul Mukminin, pulang dari manakah engkau.?”

Dia (Aisyah) menjawab: “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abu Bakar.” Aku bertanya kepadanya: “Bukankah Rasulullah Saw telah melarang untuk berziarah kubur?” Aisyah menjawab: “Benar, pada awalnya beliau saw melarangnya, namun kemudian beliau saw memerintahkan untuk berziarah kubur.”

Imam Dzahabi mengomentari ini dalam talkhisnya, dia mengatakan “shahih

Kalau kita perhatikan, riwayat ini menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah berziarah ke makam saudaranya, hal ini tentunya membuktikan kepada kita mengenai dibolehkannya beziarah kubur bagi wanita sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw.

Kemudian di dalam Kitab Shahih Muslim jilid 1, halaman 429, terbitan Dar al-Fikr, cetakan tahun 1992M/1412H:

Rasulullah saw bersabda: “jibirl datang krpadaku… dan berkata”sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu untuk mendatangi (menziarahi) pemakaman baqi’, agar kamu memintakan ampunan unutuk mereka (penghuni kubur)”. Aku (Aisyah) bertanya: “Apa yang harus aku ucapkan untuk mereka ya Rasulullah ?”

Rasulullah saw menjawab: “Katakanlah olehmu (ketika memasuki pemakaman): “Salam atas penghuni kubur dari golongan orang-orang mukmin dan orang-orang muslim, dan semoga Allah merahmati kepada orang-orang yang mendahului kami dan yang terkemudian, dan sesungguhnya kami insya Allah termasuk orang yang akan menyusul kalian.”

Dala riwayat ini Rasulullah Saw mengajarkan kepada Ummul Mukmin Aisyah, apa yang seharusnya diucapkan ketika menziarahi kubur, hal ini sekaligus merupakan bukti bahwa wanita pun diperbolehkan menziarahi kubur, jika hal itu dilarang, lalu apa manfaat dari pengajaran Nabi Saw tersebut kepada Aisyah ra.

Sumber: masalah yang di perselisihkan, hal.8-9

Monday, April 15, 2019

Dalil Diperbolehkannya Ziarah Kubur

Dalil Diperbolehkannya Ziarah Kubur

Dalil Diperbolehkannya Ziarah Kubur

1. Doa orang Hidup Akan Sampai Kepada Yang Sudah Meninggal

Dalam Shahih Bukhari, Tahqiq Syua'ib al-Arnauth seorang ulama Wahabi, jilid 4, halaman 262, hadis nomor 5666, terbitan Al-Risalah al-Alamiyah cetakan pertama tahun 2011 M/ 1432 H

Aisyah berkata: “Alangkah Sakitnya kepalaku, kemudian Rasulullah Saw bersabda: kalau seandainya kematian mendatangimu, sementara aku masih hidup, tentu aku akan memintakan ampunan kepada Allah Swt untukmu, dan mendoakan kebaikan bagimu...dan seterusnya”

Kalau kita perhatikan hadis diatas tadi, maka kita dapat mengambil kesimpulan:

Pertama: bahwasanya seorang suami dapat memintakan ampunan dan mendoakan istrinya yang sudah meninggal dunia. Dengan kata lain, doanya yang hidup dapat sampai kepada yang sudah meninggal dunia. Semoga hal ini, menjadi jelas bagi kaum muslimin bahwa mendoakan orang yang sudah meninggal dunia merupakan Sunnah Nabi Saw.

Kedua: hadis ini, sekaligus mengingatkan dan menjawab tentang sikap sebagai orang yang dengan mengatakan: “bahwa doa yang sampai hanyalah dari anak yang saleh saja”, sementara dia dari orang lain, contohnya doa suami untuk istrinya yang sudah meninggal atau sebaliknya tidak akan sampai.

Dalam kitab yang sama di kitab Shahih Bukhari jilid 1, halaman 532, terbitan Al-Risalah al-Alamiyah, cetakan pertama tahun 2011 M/ 1432 H:

Diriwayatkan dari ibn Abbas dari Nabi Saw bahwasanya beliau Saw melewati dua kubur yang sedang diazab (penghuninya), beliau Saw bersabda: “Sungguh keduanya sedang diazab, dan mereka berdua bukan diazab karena dosa besar. Salah satunya tidak bersembunyi ketika buang air kecil sedangkan yang satu lagi mengadu domba”. Kemudian Nabi Saw mengambil pelepah daun kurma yang basah dan menjadikannya dua bagian lalu menusukkan di setiap kubur satu bagian.

Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau mengerjakan hal ini?

Beliau saw menjawab: Semoga hal ini bisa meringankan keduanya selama (selama pelepah kurma itu) tidak kering.

Harap diteliti riwayat dalam kitab Shahih Bukhari ini oleh kelompok yang selalu meyakini bahwa doa orang yang hidup tidak akan sampai kepada mayit, dengan alasan sudah terputus, lantas apa artinya Nabi Saw menancapkan pelepah daun kurma yang basah di atas kubur, jika itu tidak membawa manfaat bagi si mayit?

Di dalam Kitab Shahi Muslim jilid 1, halaman 428, terbitan Dar al-Fikr cetakan tahun 1992 M/ 1412 H:

Dari Aisyah berkata: “Pada setiap akhir malam, Rasulullah saw keluar menuju pemakaman baqi’ seraya berkata: “Salam atas kalian tempat kaum mukminin, aku datang kepada kalian dengan apa-apa yang telah dijanjikan kepada kalian esok, Insya Allah kami akan menyusul kalian, ya Allah, ampunilah Penghuni kubur baqi’”.

Dalam riwayat ini, bukan saja Rasulullah Saw melaksanakan ziarah kubur, bahkan beliau Saw memintakan ampunan kepada Allah Swt bagi mereka. Disini membuktikan bahwa istighfar-nya orang yang hidup akan sampai kepada ahli kubur.

Kitab Al-Ruh Karya Ibn Qayyim Al-jauziyyah yang bermazhab hanbali, halaman 65, terbitan al-Maktab al-Islami, cetakan pertama tahun 2004 M/ 1425 H:

Ibn Qayyim berkata: “Telah ditetapkan dari Rasulullah Saw: “Sesungguhnya mayit mendengar suara sandal orang yang mengantarkan jenazahnya, apabila mereka meninggalkannya.”

“Nabi Muhammad Saw telah mengisyaratkan kepada umatnya, jika mengucapkan salam kepada ajli kubur agar mengucapkan salam kepada mereka dengan salam seperti orang yang sedang mengajak bicara si mayit, hendaklah yang memberikan salam, mengucapkan: Salam kesejahteraan kepada kalian wahai penghuni kubur dari kaum muminin.

“Panggilan ini diperuntukkan bagi yang bisa mendengar dan berkal, dan jika percakapannya tidak seperti itu, pasti percakapan tersebut menjadi sia-sia, seperti bercakap-cakap dengan sesuatu yang tidak ada ataupun benda mati. ULAMA SALAF SEPAKAT atas hal ini, dan telah mutawatir hadis dari mereka bahwa mayit mengetahui kedatangan peziarah yang hidup kepadanya dan merasakan KEBAHAGIAAN dengan kedatangannya”.

Namun anehnya, masih saja ada yang meyakini bahwa ziarah kepada beliau Saw tidak ada manfaatnya, Bahkan yang lebih anrh lagi, riwayat diatas terdapat dalam kitab Ibn Qayyim yang mana dia adalah murid terdekat Ibn Taimiyah.

Dalam kitab Al-Ruh, Karya Ibn Qayyim yang bermadzhab Hanbali, halaman 73-74, Terbitan Al-Maktabul Islami, Cetakan pertama tahun 2004 M/ 1425 H:

Ibn Qayyim berkata: “Telah disebutkan oleh sekelompok salaf, bahwa mereka mewasiatkan agar membacakan (al-Qur’an) disisi kubur mereka, ketika telah selesai dikubur. Berkata Abdul Haq yang meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar memerintahkan untuk dibacakan surat Al-Baqarah disisi kuburnya. Dan salah satu ulama yang berpendapat dengan hal ini adalah Al-Ma’la bin Abdurrahman, sedangkan Imam Ahmad awalnya mengingkarinya, karena belum sampai kepadanya riwayat yang menyatakan hal ini, tetapi setelah itu dia tidak mengingkarinya”.

Kemudian Ibn Qayyim berkata: “Berkata Al-Khallal dalam kitab ‘Al-Jami’, Bab ‘Bacaan (Al-Qur’an) disisi kubur:… dari Abdurrahman bin ‘Ala bin Lajlaj dari ayahnya yang berkata: “jika aku mati, maka letakkanlah aku di liang lahat dan katakanlah: Bismillah wa ‘ala sunnati Rasulillah (Dengan nama Allah dan atas sunnah Rasulullah), lalu taburkan tanah diatasku. Setelah itu bacalah bagian awal Surah Al-Baqarah disisi kepalaku, karena aku mendengar Abdullah bin Umar mengatakan hal itu….”.

Al-Khallal berkata: “Telah mengabarkanku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, telah mengabarkan kepadaku Ali bin Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang jujur berkata: “aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Quddamah Al-Jauhari mengantarkan jenazah.

Ketika mayiit telah dikuburkan, seorang yang buta duduk dan membaca (Al-Qur’an), maka Ahmad berkata kepadanya: “Wahai fulan, sesunggunya bacaan disisi kubur merupakan bid’ah”. Ketika kami keluar dari pemakaman, Muhammad bin Quddamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal:

“Wahai Abu Abdillah, apa penilaianmu tentang sosok Mubasysyir Al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: “Dia orang yang terpercaya”. Muhammad bin Quddamah kembali bertanya: “Apakah engkau menulis suatu hadis darinya? Imam Ahmad menjawab: “iya” lalu Muhammad bin Quddamah berkata: “telah mengabarkan kepadaku Mubasysyir dari Abdurrahman bin Ala Al-Lajlaj dari ayahnya bahwa dia berwasiat, jika telah dikuburkan Agar Dibacakan bagian awal surat Al-baqarah dan akhir”,

Dia berkata: “Aku mendengar ibn Umar mewasiatkan hal itu”. Maka Imam Ahmad berkata kepadanya: “Kemudian engkau (ke pemakaman) dan katakanlah kepada orang tadi Agar Membaca!”.

Anehnya kelompok yang sudah mulai reda dengan membolehkan ziarah kubur, namun melarang para peziarah terssebut untuuk membaca doa atau ayat Al-Quran disisi kubur.

Sementara Imam mereka (Ahmad bin Hanbal) membolehkannya, yang membuat bingung adalah sebenarnya kepada siapa mereka bertalid atau merujuk?

Kitab Shahih Bukhari, jilid 3 halaman 268, terbitan Ar-Risalah Al-Alamiyyah, cetakan pertama, tahun 2011 M/ 1432 H:

Diriwayatkan dari Qatadah yang berkata: “Anas bin Malik bercerita kepada kami dari Abu Thalhah bahwa Nabi Saw pada perang Badar memerintahkan untuk melemparkan dua puluh empat orang bangkai pembesar Quraisy ke dalam lubang (sumur yang terbuat dari bebatuan) diantara lubang-lubang yang ada di badar yang sangat buruk dan menjijikkan. Jika beliau mendapatkan kemenagan melawan suatu kaum, ,aka beliau berdiam di tempat persinggahan selama tiga hari. Ketika perang badar, memasuki hari ketiga beliau memrintahkan untuk mempersiapkan hewan tunggangan beliau dan mengikatkan pelananya lalu beliau berjalan diiringi oleh para sahabat. Para sahabat berkata:

“Tidak pernah diperlihatkan kepada kami beliau berangkat melainkan karena ada keperluan”. Hingga ketika sampai ditepi sumur itu, beliau memanggil mereka (orang kafir Quraisy yang sudah mati) dengan nama-nama mereka dan nama-nama bapak mereka: “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan. Apakah kalian senang jika dulu menaati Allah dan Rasul Nya?

Sungguh kami telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kami dengan benar. Apakah kalian juga telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian dengan benar.?
Abu Thalhah berkata: “Maka Umar bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa anda berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak ada ruh-Nya?”

Maka Rasululah saw menjelaskan: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian tidaklah lebih dapat mendengar apa yang aku katakan dibandingkan mereka”….

Kitab Syarah Riyadh Al-Shalihin, karya Al-Utsaimin seorang ulama wahabi, jilid 3, halaman 82-83, terbitan Dar ibn Hazm, cetakan pertama tahun 2007:

Diriwayatkan dari Usman bin Affan ra: “kebiasaan Nabi saw ketika selesai menguburkan mayit, beliau berdiri disisinya, seraya bersabda: “MIntalah ampunan untuk saudara kalian, mohonkan kekokohan baginya karena sekarang dia akan ditanya”.

Imam Syafi’I berkata: Dianjurkan untuk membacakan sesuatu dari Al-Qur’an disisinya dan jika menghatamkannya maka itu lebih baik”.

Utsaimin berkata: “Adapun bacaan disamping  kuburan, maka yang benar adalah hukumnya makruh, bahwasanya dimakruhkan bagi manusia pergi ke kuburan, kemudian berdiri disampingnya dan membaca (Al-Quran), karena ini termasuk bid’ah dan Nabi Saw telah bersabda: “semua bid’ah adalah  kesesatan” dan paling tidak hukumnya adalah makruh”.

Kami serahkan penilaiannya kepada para Pembaca mengenai komentar al-Utsaimin dalam riwayat di atas tadi.

Sumber: Masalah Yang Di Perselisihkan, hal,1-7

Wednesday, March 13, 2019

Pandangan Al-Farabi tentang Kenabian

Pandangan Al-Farabi tentang Kenabian

Pandangan Al-Farabi tentang Kenabian

Tentang pemimpin dalam Masyarakat Utama (al-madinah al-fadhilah), Al-Farabi menuliskan:

كان هذا الإ نسان هو الإنسان الذي حلّ فيه العقل الفعّال.
واذا حصل ذلك فى كليh جز ءي قوته النا طقة وهما النظرية والعملية ثم فه قوته المتخيّلة كأن هذا الإنسان هو الذي يوحي إليه، فيكون اللّه عذّ وجلّ تو حى إليه بتو سّط العقل الفعّال يفيضه العقىل الفعّال إلى عقله المنفعل بتو سّط العقل المستفاد ثم إلى قوته المتخيّلة، فيكون بما يفيض منه إلى عقله المنفعل حكيما فيلسوفا ومقبلا على التمام < بعقل فيه الإ لهىُّ> وبما يفيض منه إلى القوة المتخيّلة نبيّا ومنذرا بما ثيكون ومخبرا بما هو الآن من الجذ ىٔيات بوجود [ يعقل فيه الإلٰهيات] وهذا الإنسان فى أكمل مراتب الإنسانية وفى أعلى درجات السعادة وتكون نفسه كالمت متحدة بالعقل الفعّال على الوجه الذى قلنا وهذا الإنسان هوالذى يقف على كل فعل يمكن أن يبلغ به السعادة

"... Manusia ini adalah manusia yang kepadanya akal aktif telah diturunkan.

     "Ketika ini muncul pada kedua fakultas rasionalnya, yakni fakultas rasional teoretis dan praktis, juga fakultas imajinasinya, maka adalah manusia ini yang menerima wahyu, dan Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan kepadanya melewati perantara Akal Aktif (al-'aql al-fa'al), sedemikian rupa hingga emanasi dari Allah tabaraka wa ta'ala kepada al-'aql al-fa'al tersebut ('aqluhu al-munfa'al) terjadi melalui perantara Akal Perolehan (al-'aql al-mustafad), dan kemudian kepada daya imajinasi. Maka, ia adalah----melalui emanasi bijak dan filosof dan pemikir yang sempurna (dengan akal yang di dalamnya bersifat  ilahiah), dan melewati emanasi emanasi dari akal aktif (al-'aql al-fa'al) kepada daya imajonasinya adalah nabo yang mengingatkan ihwal hal-hal yang akan terjadi dan mengabarkan hal-hal partikular yang ada saat ini.

    "Manusia ini berada dalam derajat kemanusiaan yang paling sempurna dan telah mencapai derajat kebahagiaan yang tertinggi.

     "Jiwanya menyatu dengan akal Aktif (al-'aql al-fa'al) (sebagaimana sebelumnya) dengan suatu cara yang telah kita kemukakan (dijelaskan Al-Farabi dalam bab sebelumnya). Ia adalah manusia yang mengetahui tiap perbuatan yang dengannya kebahagiaan bisa diraih." []

Sumber: Hamid Muhammad, Prophethood For Teens; Falsafah & Risalah Kenabian dalam Islam (Bandung, Penerbit Marja) 2017

Monday, February 11, 2019

Aku Telah Menjadi Seorang Muslim

Aku Telah Menjadi Seorang Muslim

Aku Telah Menjadi Seorang Muslim

Tufayl bin Ammar adalah seorang penyair, yang manis tutur bahasanya dan seorang yang cerdas. Di tengah kabilahnya, dia seorang yang selalu didengar ucapannya. Suatu hari, dia berkunjung ke kota Makkah. Bagi bangsa Qurays, keislaman seorang seperti Tufayl adalah masalah yang sangat besar. Oleh karena itu, para pemuka dan pemimpin bangsa Ourays mendatangi Tufayl.

Mereka  berkata  kepada  Tufayl,  "Ketahuilah, orang yang sedang melakukan shalat di samping Ka'bah itu telah merusak persatuan bangsa kami dengan agama baru yang dibawanya. Dan dengan kata-kata sihir nya, dia telah meletakkan batu perpecahan di antara kami. Kami khawatir, dia pun kelak akan membuat  kabilahmu terpecah menjadi dua kelompok. Alangkah baiknya bila kau tak bicara dengannya."

Tufayl  mengisahkan:  Setelah  mendengar  keterangan para pemuka Qurays itu, muncul di hatiku rasa takut. Karena khawatir terpengaruh oleh ucapan-ucapan penuh sihir orang itu, aku bertekad untuk tak berbicara dengannya, bahkan tak akan mendengarkan  ucapan-ucapannya.  Untuk mencegah pengaruh sihirnya itu, sewaktu  Thawal  aku menyumpalkan kapas ke dalam telingaku, agar tak terdengar oleh kedua telingaku untaian ayat-ayat al-Quran yang dilantunkan dan bacaan-bacaan shalatnya.

Suatu  pagi,masih dengan kedua telinga tersumpal kapas, aku  memasuki masjid, tanpa sedikit pun ada keinginan untuk mendengar kata-kata orang itu. Namun tiba-tiba, itu terdengar jua oleh kedua telingaku; rangkaian kata-kata yang sangat manis dan indah. Aku benar-benar merasakan nikmat yang luar biasa ketika mendengarnya. Setelah itu, aku berkata sendiri, "Duhai Ibu, janganlah kau duduk dalam duka. Bukankah engkau seorang ahli retorika dan cerdas? Lantas, apa salahnya bila kau dengar kata-kata lelaki itu. Jika ternyata baik, maka terimalah olehmu. Sebaliknya bila itu buruk dan tidak terpuji, maka tolaklah."

Kemudian, agar tak tampak oleh orang lain aku bertemu dengannya, dengan sedikit bersabar aku menunggu hingga lelaki itu masuk ke rumahnya. Setelah dia masuk, aku pun meminta izin untuk masuk ke rumahnya. Di dalam, kuceritakan semua peristiwa yang kualami dari awal hingga akhir. Aku berkata,  "Orang-orang  Ourays  telah  mengatakan suatu hal yang buruk menyangkut dirimu kepadaku. Awalnya, aku tak pernah ingin bertemu denganmu hingga akhirnya untaian ayat-ayat al-Duran yang terde-ngar olehku telah menarik diriku kepadamu. Kuingin engkau menjelaskan hakikat agamamu itu dan bacakanlah sebagian dari al-Quran kepadaku."

Akhirnya, Rasulullah saw menjelaskan Islam kepadanya dan membacakan sebagian ayat-ayat al-Quran.

Tufayl melanjutkan:  Aku  bersumpah  demi Allah, tak pernah kudengar kata-kata yang lebih indah darinya dan tak ada agama yang lebih lurus dari agamanya. Aku lalu berkata kepada Rasulullah,"Aku adalah orang yang terpandang dan berpengaruh di kabilahku, karena itu aku akan berusaha keras untuk menyebarkan agamamu ini di antara mereka."

Ibnu Hisyam menuturkan bahwa hingga Perang Khaibar, Tufayl berada di antara kabilahnya. Dia selalu berusaha keras untuk menyebarkan agama Islam selama berada di antara mereka. Pada hari terjadinya Perang Khaibar, dia bersama 80 (delapan puluh) keluarga muslim lainnya bergabung dengan Rasulullah Saw. Dia sangat kuat memegang agamanya itu. Hingga akhirnya, sepeninggal Rasulullah saw, pada masa pemerintahan salah seorang Khalifah Rasyidin, dalam peperangan Yamamah, dia termasuk di antara kaum muslimin yang berhasil mereguk air kesyahidan.

Friday, February 8, 2019

Islam

Islam

Islam Dalam Alquran


Alquran:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُۗ
“sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam” (Q.S Ali Imran [3]: 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka ia sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang orang yang merugi” (Q.S Ali Imran [3]: 85)

Keterangan:

Kata al islam, at taslim, al Istislam dalam bahasa memiliki satu arti, ia diambil dari kata dasar as silmu yang artinya adalah keputusan. Kata kerja aslama, salima dan istaslama memberikan pengertian: ketika seseorang tidak menolak dan melanggar apapun yang datang dari pihak lain/tertentu, seperti dalam ayat:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa ayng menyerahkan diri kepada Allah..” (Q.S al-baqarah [2])

Artinya, Islamnya seorang kepada Allah SWT ialah kepatuhan dan menerima semua yang datang dari Nya, baiik berupa hukum alam; qadha dan takdir, maupun hukum syariat: perintah, larangan, dan lain-lain.

Dengan pengertian di atas ia memiliki tingkatan-tingkatan yang bervariasi.

Sumber: Ust Ali Umar, Lentera Hati, hal.15-16